Minggu, 08 Maret 2009

mengapa orang yang agamis banyak melakukan hal yang non agamis? (tinjauan psikologi agama)

Pendidikan keagamaan dinilai mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya menanamkan rasa keber-agamaan pada seseorang. Melalui pendidikan pula, dilakukan pembentukan sikap dan jiwa keber-agamaan tersebut . Setidaknya, ada tiga fase pendidikan yang mempengaruhi terhadap pembentukkan jiwa keagamaan. Yaitu, pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan atau pendidikan formal, dan pendidikan di masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif dalam pembentukan jiwa keagamaan.

PENDIDIKAN KELUARGA
Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki oleh anak-anak, sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga .
Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan pendidikan keluarga sangatlah besar bagi pembentukan jiwa keber-agamaan. Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang Tua adalah pendidik Kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati Ibu dan Bapak mempunyai naluri orang tua yang diberikan oleh Tuhan. Naluri ini menimbulkan rasa sayang pada diri orang tua kepada anak-anak mereka, sehingga timbul beban moral untuk memelihara, mengawasi, membimbing, dan melindungi keturunan mereka .
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan/religiusitas. Atau Bapak Alim Roswantoro pernah menyampaikan pada salah satu perkuliahannya, bahwa fase pendidikan keluarga ini merupakan fase ideologi. Rasullah SAW. pernah bersabda, setiap anak yang lahir dimuka bumi ini semuanya dalam keadaan fitrah. Kemudian, kedua orang tuanya lah yang membawa meraka terhadap agama Islam, Kristen, ataupun yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka.

PENDIDIKAN KELEMBAGAAN
Pendidikan kelembagaan atau pendidikan formal, atau yang lebih akrab ditelinga kita dengan sebutan sekolah, merupakan pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan yang dimiliki para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Tentu saja pemilihan sekolah ditentukan dengan pertimbangan kepentingan masa depan anak-anaknya. Orang tua yang ingin anaknya menjadi orang yang taat beragama, dan mengerti ilmu-ilmu agama maka mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah berbasis agama. Ada pula orang tua yang ingin anak-anaknya pintar dalam hal ilmu empiris atau exact, maka mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah umum.
Walaupun pendidikan agama di keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa religiusitas pada seorang anak, tidak menutup kemungkinan pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah ikut memberi pengaruh dalam pembentukan jiwa religiusitas seorang anak. Namun besar kecilnya pengaruhnya tergantung pada faktor-faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Faktor-faktor inilah yang harus diteliti dan diaplikasikan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal, sehingga mereka mampu benar-benar mencerdaskan bangsa, khususnya mampu memberi pengaruh yang besar bagi terbentuknya jiwa religiusitas pada anak-anak didiknya.

PENDIDIKAN DI MASYARAKAT
Pertumbuhan fisik berhenti ketika kita dewasa, sedangkan pertumbuhan psikis tidak berhenti hingga kita mati. Kalimat ini mungkin dapat sedikit menggambarkan betapa pentingnya pendidikan di masyarakat.
Pendidikan yang kita peroleh dari keluarga dan lembaga pendidikan bersifat terbatas. Hal ini disebabkan karena lembaga pendidikan dibatasi oleh waktu. Begitu juga dengan pendidikan keluarga. Berinteraksi dengan lingkungan masyarakat adalah hal yang niscaya terjadi dalam hidup kita sebagai makhluk sosial yang selalu memerlukan orang lain untuk melanjutkan hidup.
Oleh karena itu, budaya yang berlaku di masyarakat sangat berpengaruh dalam pembentukan jiwa religiusitas manusia. Ketika masyarakat tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai agama, maka berpengaruh besar terbentuknya jiwa religiusitas pada individu-individu yang berinteraksi di dalam masyarakat tersebut. Begitu pun sebaliknya, ketika masayarakat tersebut tidak menjunjung nilai-nilai agama, maka individu-individunya pun akan jauh dari nilai-nilai keagamaan.
Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri .


MENGAPA MASIH ADA ORANG YANG BERPERILAKU NON AGAMIS, WALAUPUN TELAH MELALUI TIGA FASE PENDIDIKAN DIATAS?

Kesalahan terhadap porsi pendidikan yang harusnya diberikan pada tiap-tiap fase pendidikan yang telah disebutkan di atas, bisa jadi menjadi salah satu penyebabnya. Keluarga yang menjadi lapangan pendidikan pertama dan merupakan fase ideology, tidak dimaksimalkan oleh orang tua sebagai pendidik untuk menanamkan rasa atau jiwa keagamaan yang matang sejak dini.
Menginjak pada pendidikan formal, kebanyakan orang tua lebih memilih “sekolah umum” daripada “sekolah keagamaan”. Sekolah umum lebih menekankan pada ilmu-ilmu umum, dan sedikit porsi untuk ilmu-ilmu keagamaan. Sehingga sedikit sekali rasa keberagamaan yang tertanam. Namun, walaupun sang anak dimasukkan ke “sekolah keagamaan”, masih banyak yang berperilaku non agamis. Mungkin, lembaga pendidikan tersebut kurang memberikan faktor-faktor yang dapat memotivasi untuk memahami nilai keagamaan. Jadi, pengawasan, bimbingan, dan strategi-strategi yang jitu dalam menyampaikan nilai-nilai keagamaan, sangat berperan besar untuk menanamkan rasa keberagamaan pada diri sang anak didik.
Lingkungan bergaul yang dipilih oleh seseorang sangat berpengaruh pada rasa keberagamaan yang dimilikinya. Ketika kita bergaul dengan kelompok masyarakat yang suka mabuk-mabukan, maka secara tidak langsung hal itu akan tertular kepada kita. Mabuk-mabukan menjadi hal yang tidak tabu. Begitu pun ketika kita berinteraksi dalam masyarakat yang biasa berkorupsi ria. Maka korupsi itu akan kita anggap sebagai hal yang lumrah.
Ketiga fase tersebut bukanlah sebuah alternasi, salah satunya merupakan fase yang paling berpengaruh dalam penanaman rasa keneragamaan. Melainkan sebuah system yang harus berjalan secara sinergi. Apabila ada satu fase yang menyimpang, maka tidak menutup kemungkinan rasa keberagamaannya akan memudar atau hilang. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif dalam pembentukan jiwa keagamaan.